Friday, October 25, 2013

kawasan condet pernah menjadi daerah konservasi budaya betawi, oleh Gubernur Ali Sadikin pada tahun 1975, melihat kehijaun dan udaranya yang sejuk, daerah ini memang dikenal sebagai daerah penghasil buah salak dan duku hingga saat ini.
Condet yang terbagi dalam tiga kelurahan Bale Kambang, Batu Ampar, dan Kampung Gedung gagal menjadi cagar budaya dan kini telah dipindahkan ke Setu Babakan oleh pemerintah DKI Jakarta, namun bila melihat sejarah panjang daerah ini, sejak 3.000 sampai 4.000 tahun lalu di kawasan yang berbatasan dengan Kramatjati ini sudah ada kehidupan. Ditemukan kapak batu, gerabah, dan lampu perunggu di sini. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Budayawan Ridwan Saidi (Koran Republika-red) bahwa dahulu condet pernah menjadi pusat pemerintahan kerajaan Salaksana pada tahun 120M, nama-nama yang menjadi sejarah seperti seperti Bale Kambang dan Batu Ampar. Bale Kambang adalah tempat pesanggrahan raja-raja, sedangkan Batu Ampar merupakan batu besar tempat meletakkan sesaji (sesajen).
Namun ada catatan yang tertinggal disana, bahwa condet tidak hanya sebuah kawasan yang memiliki ciri khas betawi namun juga budaya yang masih tertinggal dan tetap dijaga oleh penduduk asli betawi disana.
Sore itu tim IPOSI berniat bersilaturahmi dengan salah satu tokoh dari condet yang sudah tidak asing lagi, selain sebagai pemerhati budaya betawi, tokoh kita ini juga pandai bersilat, itulah Entong H. Sapri salah satu cucu dari Entong Gendut dirumah kediamannya. Kami bertiga diterimanya dengan baik, usianya memang sudah 75 tahun namun semangatnya terpancar dari wajahnya. Beberapa penghargaan dari pemerintah DKI Jakarta terpampang di dinding rumahnya yang sederhana, dengan halaman rumah yang ditumbuhi oleh pohon yang rimbun
Karena malam itu H. Sapri cukup lelah akhirnya tim pamit dan beliau mengajak tim untuk hadir pada malam rabu untuk melihat latihan silatnya, sayangnya undangan tersebut batal tim IPOSI laksanakan karena ada kesibukan lain yang tidak bisa dihindari.
Satu tahun kemudian ada rasa kangen dengan H. Entong Sapri, dan bersama Mas Faried dari milis pendaki, Tim IPOSI akhirnya sepakat kembali menemuinya di rumahnya. Namun kabar duka mengurungkan niat kami bertiga, H. Entong Sapri sudah meninggal dunia satu tahun yang lalu tepatnya sebelum bulan puasa tahun 2005. ujur keluarga H.Sapri
Rasa duka yang mendalam menyelimuti kami, rasanya pertemuan waktu itu adalah pertemuan terakhir dengannya, hanya doa yang bisa kami berikan padanya agar Amal Ibadahnya diterima oleh Allah SWT.
Memang ada rasa kecewa karena tidak bisa lagi bertemu dengan Babeh Sapri, tapi rasa tersebut dapat terobati dengan hadirnya mas Didi (Ahmad Zainudin ) salah satu putra H. Entong Sapri, saat ini ia masih kuliah di salah satu Universitas di Jakarta, sebagai orang betawi ia paham betul arti sebuah pendidikan, karena melalui pendidikan inilah kami warga betawi bisa membangun citra pada orang betawi lainnya.
Mas didi cukup terbuka dan nampaknya ia pun menyadari arti sebuah pelestarian budaya, hingga iapun kini masih merintis sebuah buku tentang H. Entong Sapri baik sebagai pribadi maupun dalam organisasinya di pesilatan. IPOSI (Ikatan Pencak Silat Olahraga dan Silaturahmi) itulah nama perkumpulan silat H. Entong Sapri.
Ia pun tak segan-segan memperagakan sedikit ciri khas jurus dari pencak silat yang ia pelajari, apalagi kami sebelumnya telah mengetahui aliran silat IPOSI ini, kadang-kadang mas didi sempat bertanya dari mana kalian bisa tahu..? ya tentunya dari babeh anda sendiri waktu itu.
Melihat gerakannya IPOSI memang khas betawi dengan kuda-kuda yang rendah dan gerakan tangan yang cepat memberikan penekanan pada penyerangan dan juga bertahan, menurut H. Entong Sapri semasa Hidup kepada penulis bahwa silat ini punya maenan Cikalong seperti Suliwa, Silau macan, dan cimande. Gerakan jurus cikalongnya halus namun bertenaga dan sewaktu diperagakan jurus silau macan oleh mas didi, saya sempat teringat dengan salah satu perguruan silat betawi di acara festival silat betawi di Cibubur tahun 2006 lalu. Silau macan itulah jurus yang sering disebut – sebut oleh H. Entong sapri, dan malalui mas didi jelas sekali bahwa gerakan Silau macan layaknya macan yang akan menerkan musuhnya.
“Silat ini bertujuan untuk silaturahmi, babeh diusia tuanya masih melatih ke Tanah Abang hingga ke Cibinong, “ ujur Mas Didi. Sepeninggal babeh, kakak lelaki saya yang mewarisi dan menjaganya, dan tentunya kelaurga kami juga turut menjaga warisan ini.
Belajar silat IPOSI unsure agama Islam juga cukup kental terasa dimana, seseorang wajib menjalankan syariat islam dengan benar, bukan bertujuan mencari kesaktian tapi mencari iman melalui silat. Karena tujuan kita hidup ini untuk beribadah jadi ya berlatih silat juga Ibadah karena mensyukuri nikmat sehat.
Diceritakan juga bahwa condet merupakan basisnya pendekar dan juga alim ulama, dan salah satu pendekar yang cukup tersohor namanya adalah ayah kakeknya sendiri yaitu Entong Gendut, sepak terjangnya kepada Kompani belanda menjadi cerita sendiri yang menjadi sejarah daerah ini.
Untuk itu, sebaiknya kita kembali dulu pada keadaan ratusan tahun sebelumnya. Di ujung Jl Condet Raya terdapat sebuah gedung tua yang kini tinggal kerangka di bagian depannya karena terbakar pada 1985. Gedung yang terletak di Jl Tanjung Timur (Tanjung Oost) yang kala itu dinamakan gedung Grooneveld merupakan rumah tuan tanah terbesar yang pernah dibangun di Batavia (1756) yang letaknya jauh di luar kota. Waktu itu, untuk mencapai gedung megah ini diperlukan lima jam dari pusat kota (Pasar Ikan) dengan kereta kuda. Adanya gedung ini menjadikan kawasan tersebut hingga sekarang dinamakan Kampung Gedung.
Gedung ini dibangun oleh Vincent Riemsdijk, anggota Dewan Hindia, sebagai perkebunan dan sekaligus peristirahatan. Setelah kematiannya, putranya Daniel van Riemsdijk, seorang petani andal, benar-benar mengurus perkebunan Tanjung Timur dan mengelolanya dengan baik. Pada waktu itu, 6.000 ekor sapi digembalakan di perkebunan ini, tempat yang sekarang berdiri gedung-gedung megah dan jalan raya dari Tanjung Timur ke Terminal Kampung Rambutan.
Di gedung ini pada 1749 pernah berlangsung pertemuan antara Gubernur Jenderal Von Imhoff dan Ratu Syarifah Fatimah, wali sultan Banten. Syarifah, wanita terdidik dan cerdas, pada 1720 menjadi istri Pangeran Mahkota Banten, Zainul Arifin. Ia sangat berpengaruh terhadap suaminya ketika menjadi sultan Banten (1733). Tapi, Syarifah sendiri meninggal dengan merana karena dibuang ke Pulau Edam di Kepulauan Seribu, akibat pemberontakan Kyai Tapa (1750). Ia ditangkap akibat ambisinya untuk mengangkat Syarif Abdullah, yang menikah dengan keponakannya, untuk dijadikan pangeran mahkota Kesultanan Banten.
Gedung yang juga dikenal dengan Vila Nova itu telah beberapa kali berganti pemilik. Menurut Ran Ramelan dalam Condet Cagar Budaya Betawi tiap penggantian tuan tanah ini, diadakan peraturan baru yang memberatkan rakyat Condet. Terhadap tiap pemuda Condet yang telah menginjak dewasa dikeluarkan kompenian atau pajak kepala sebesar 25 sen (nilainya kira-kira 10 liter beras). Karena banyak petani yang tidak sanggup membayar blasting (pajak) yang sangat memberatkan itu, tuan tanah sering membawa petani yang tak sanggup membayar ke landraad (pengadilan). Dan tuan tanah di Condet kelewat getol dalam membikin perkara. Akibatnya banyak petani yang bangkrut, rumahnya di%@!#$&, atau tak jarang yang dibakar. Penduduk yang belum membayar blasting hasil sawah dan kebunnya tidak boleh dipanen.
Melihat penderitaan rakyat yang demikian itulah, Entong Gendut meradang. Ia kumpulkan sejumlah warga Condet. Panji perang dikibarkan. Dengan meneriakkan Allahu Akbar, Entong Gendut mengobarkan semangat jihad fi sabililah. Saat itulah, pada 5 April 1916 perang berkobar di Vila Nova yang ditempati Lady Lollinson dan para centengnya. Entong Gendut bersama para pemuda Condet, bersamaan dengan pertunjukan Tari Topeng menyerbu tempat itu.
”Allahu Akbar ….. Sabililah ….. gue enggak takut ame kompeni”, teriak Entong Gendut dan kawan-kawannya. Namun setelah datang bantuan dari Batavia, pemberontakan itu ditumpas. Haji Entong Gendut pun syahid tertemnbus timah panas. Ada berbagai versi tentang kematiannya. Haji Sapri, salah satu cucunya yang tinggal di Condet kepada penulis beberapa waktu lalu mengatakan, kakeknya ditembak Belanda bukan di Kampung Gedong, tapi di Batu Ampar. ”Saat beliau hendak melewati sungai ketika dikejar kompeni.” Versi lain menyebutkan, jenazahnya diangkut kompeni, kemudian diceburkan ke laut. Nama pahlawan ini pernah diabadikan untuk sebuah jalan di Condet. Sayangnya, entah karena apa kini diganti menjadi Jl Ayaman, nama salah satu tuan tanah. (Koran Republika)
Dari cuplikan kisah tadi mungkin kita akan bertanya, mengapa kita sebagai warga betawi (Jakarta) membiarkan kekayaan budaya ini menghilang, dan tentunya melalui tulisan ini, kami berharap anda sebagai generasi muda memiliki rasa percaya diri bahwa silat adalah budaya dan asset kita bersama.

0 comments:

Post a Comment